Ketika Sungai Batanghari tercemar residu merkuri dan mikroplastik

Ketika Sungai Batanghari tercemar residu merkuri dan mikroplastik

Suratman, 56 tahun, petani kerambah jaring apung (KJA) di desa Sungai Duren ini gusar. Produksi ikan nila (Oreochromis niloticus) di keramba miliknya terus anjlok. Ia menduga, karena pengaruh pencemaran merkuri dan sendimentasi yang membuat air Sungai Batanghari makin keruh.

Suratman adalah salah satu dari 60 persen warga di 4 desa yaitu Sungai Duren, Muaro Pijoan, Mendalo Laut dan Pematang Jering, Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, yang menggantungkan hidup dari budidaya ikan air tawar.

Desa-desa yang berada di aliran Sungai Batanghari judi baccarat online ini merupakan penyuplai ikan nila terbesar di provinsi tersebut. Sampai tahun 2022 terdapat 5.435 Keramba Jaring Apung (KJA) di sana, dengan produksi sekitar 18 ton ikan nila per hari. Namun akibat pencemaran Sungai Batanghari, tingkat kematian ikan nila menjadi tinggi dan berpengaruh terhadap volume produksi.

Sungai Batanghari yang mengalir sejauh 800 km, memang menjadi sempadan andalan warga di Jambi Luar Kota untuk budidaya ikan air tawar. Sungai ini menembus wilayah Jambi dari hulunya di Gunung Rasan, Sumatra Barat, kemudian bermuara di pantai timur Sumatra ke Laut Cina Selatan.

Namun ancaman kualitas air sungai terpanjang di Pulau Sumatra ini semakin hari semakin memburuk, membuat angka kehidupan ikan nila menurun drastis.

“Mengisi 5 sampai 7 ribu bibit ikan nila yang berusia 2 minggu, panen yang dihasilkan tidak mencapai 2 ribu ekor. Meski tipis tapi masih dapat untung,” kata Suratman.

“Kalau di bawah seribu, hanya dapat capeknya,” tambahnya.

Ketika Sungai Batanghari tercemar residu

Keluhannya semakin dalam, sebab periode panen kian panjang. Petani ikan nila seperti dirinya biasanya bisa menikmati hasil panen dalam rentang 3-4 bulan, sekarang harus menunggu hingga 2 bulan lebih lama. Sebabnya, pertumbuhan ikan makin lamban akibat air keruh.

“Waktu air Sungai Batanghari masih normal iya 3 bulan, sekarang saya panennya sampai 5 bulan,” kata Suratman. “Kondisi air sangat mempengaruhi.”

Ia setidaknya membutuhkan biaya sekitar Rp20 juta untuk membeli bibit ikan nila, guna mengisi 20 kerambah jaring apung miliknya.

“Ini saya baru mengisi 100 ribu bibit, belum tahu nanti hasilnya berapa,” katanya dengan nada pesimistis.

Suratman meyakini, maraknya aktivitas tambang emas ilegal dan penambangan pasir di bagian hulu membuat air Batanghari sudah sangat terkontaminasi. Menyebabkan pertumbuhan ikan terhambat dan hampir tiap hari ia mendapati bibit ikan yang mati mengapung.

Selain persoalan air sungai yang sudah tercemar merkuri, situasi pelik lainnya yang dihadapi petani ikan air tawar adalah fenomena “air bange”, istilah lokal petani keramba jaring apung untuk air yang berkurang kadar oksigennya.

Penyebab utama “air bange” adalah sampah-sampah domestik atau industri yang mengendap di dasar sungai, sendimentasi akibat penambangan pasir membuat sampah yang mengendap sulit untuk hanyut terbawa arus.

Serta akibat racun pestisida dari aktivitas perkebunan kelapa sawit yang mengalir dari sungai-sungai kecil yang bermuara ke Batanghari. Semprotan racun pestisida itu terbawa arus air yang menyurut, dan keluar ke muara sungai.

“Air bange ini menyebabkan air sungai bau, ikan akan kekurangan oksigen dan ini terjadi saat air surut,” kata Suratman.

Bila kandungan merkuri membunuh bibit ikan, serangan “air bange” bukan hanya terhadap ikan kecil tapi juga ikan yang siap panen. Ikan akan mengapung untuk mencari oksigen. Sebab, kadar keasaman air meningkat. Untuk menangkal “air bange”, petani ikan seperti Suratman merendam garam ke dalam tambak miliknya, gunanya untuk menetralisir kadar asam air. Tapi itu pun tidak sepenuhnya menuntaskan masalah.

Petani seperti Suratman, memilih bertahan karena tidak ada pilihan lain lagi dalam memenuhi perekonomian keluarga, “Ibaratnya dari pada tambak tidak diisi sama sekali, mendingan diisi meski hasilnya tidak seperti dulu lagi,” katanya.

Harga ikan nila juga sering tak stabil di pasaran. Saat ini pengepul menghargai ikan nila Rp23 ribu per kilogram di tingkat petani, dari harga sebelumnya Rp29 ribu per kilogram.

Pertumbuhan ikan budidaya air tawar terhambat dan banyak yang mati bukan hanya disebabkan tercemarnya air sungai yang keruh dan terpapar merkuri. Tedjo Sukmono, ahli taksonomi dan biodiversitas air tawar Universitas Jambi mengatakan, sisa-sisa pakan dan feses ikan yang mengendap dan menumpuk di dasar sungai juga turut memicu kematian ikan nila.

“Sisa pakan dan feses ikan ini akan melepas gas amonia di dalam air, jadi ketika terjadi perubahan cuaca dari panas menjadi hujan, itu akan terjadi seperti “air bange” tadi yang membuat air beracun bagi ikan,” jelas Tedjo. “Terutama karena ikan nila merupakan jenis ikan yang tidak mudah beradaptasi terhadap perubahan cuaca dan air.”

Untuk itu, ia lebih menyarankan budidaya ikan air tawar lebih baik tidak dilakukan di daerah perairan seperti sungai atau danau, karena akan berdampak buruk pada semua ekosistem, seperti mengganggu ikan bermigrasi dan mengganggu jalur transportasi.

“Lebih baik budidaya di lahan tersendiri, seperti di kolam galian. Tapi ini memang dilema, sebab di kolam galian cost-nya akan lebih besar, namun nilai ekologi dan ekonomi harusnya seimbang,” kata Tedjo.

Apalagi di daerah danau, sambungnya, lebih baik tidak ada keramba jaring apung. Bila pun ada maksimal hanya boleh sepertiga dari luas daya dukung perairan.

Leave a Comment

Your email address will not be published.