Partikel ban sumber polusi yang belum jadi perhitungan
Isi tas kecil milik Agnes Rosita (38 tahun) berbeda dari isi tas pengemudi ojek online lainnya. Di dalam tas pengemudi ojek asal Depok itu terdapat inhaler, semacam alat hisap yang bekerja mengantarkan obat ke paru-paru. Berbekal inhaler itulah, Agnes melayani penumpang ojek ke pelosok Jabodetabek sejak enam tahun terakhir.
Memang tak selalu inhaler digunakan Agnes. Jika ada masalah pernafasan ringan, Agnes cukup menggunakan minyak angin aromatherapy. Lamat-lamat Agnes menghirup aroma minyak angin itu ke paru-parunya. Aroma minyak esensial yang sudah digunakan turun temurun neneknya itulah yang membantu Agnes bernafas lega.
Setiap harinya, Agnes berangkat subuh dan pulang malam hari. Agnes berusaha setia menjalani profesinya di atas roda. Seperti roda pula, kondisi kesehatannya tak selalu prima, apalagi saat menghirup asap knalpot dan polusi udara Jakarta. Terkadang Agnes minggir dari jalan dan menggunakan inhaler untuk membantunya bernafas.
Ada kalanya Agnes berhenti untuk sekadar menghangatkan tangan dan badan dengan minyak kayu putih. “Kalau saya paksakan pasti akan roboh di situ. Begini kalau lagi nge-drop memang saya benar-benar kelimpungan sendiri,” cerita Agnes kepada Kontan.co.id Senin (14/11).
Beruntung, masalah kesehatan Agnes tak kambuh saat bawa penumpang. Agnes sadar, asma yang diderita sejak kecil berisiko besar dengan profesinya saat ini. Namun, Agnes bertahan karena jam kerjanya fleksibel. “Dengan jam kerja ini saya bisa pulang mengurus anak,” cerita orangtua tunggal yang menghabiskan waktu di jalan antara 13 – 15 jam per hari.
Salah satu rute ojek menantang bagi Agnes adalah, Jakarta Utara. Yang paham Jakarta tentu mahfum dengan wilayah yang berdampingan dengan laut Jawa itu. Puluhan ribu truk dengan roda jumbonya berseliweran di jalan. Putaran roda dan bunyi decit rem truk dan kendaraan bermotor lainnya kerap membumbungkan partikel debu ke udara.
Di sela pancaran debu itulah, Agnes membelah Jakarta dengan sepeda motor. Jika hujan datang, air hujan tumpah mengalir ke drainase dengan warna kehitaman. Warna itu menjadi pertanda, bahwa air mengandung banyak limbah termasuk residu oli dan jejak karet yang ditinggalkan ban di atas aspal.
Sebagian partikel debu lainnya menempel di mobil, sepeda motor, halte dan bangunan sepanjang jalan. Debu juga menempel di jaket Agnes, sebagian terhirup ke paru-paru Agnes dan pengemudi ojek online dan juga pengguna jalan. Berdampingan dengan debu, yang berkontribusi pada polusi udara, merupakan risiko yang tak dapat ditampik Agnes.
Pengalaman serupa juga dialami Aprilia Dwi Susanti (32 tahun), warga Ciledug yang sudah menjadi pengemudi ojek online sejak 2008. April sapaan akrabnya sudah mengalami sesak nafas setelah hidup di atas sepeda motor sebagai pengemudi ojek. “Saya diminta dokter harus memakai inhaler, karena sesaknya parah,” beber April.
Saban bulan, Agnes dan April harus merogoh kocek sendiri untuk beli inhaler yang harganya bisa Rp 500.000. Uang pembelian https://penginapandieng.com/ inhaler berasal dari kuras keringat mereka mengantarkan penumpang. Bagi Agnes yang merupakan kepala keluarga tidak mampu membayar iuran BPJS setiap bulannya sendirian, selain itu mengurus asuransi kesehatan dari pemerintah menguras banyak waktu dan energi karena birokrasi yang berbelit.
Agnes dan April hanyalah bagian kecil dari 6.000 pengemudi ojek online yang beroperasi di Jakarta. Dari hitungan Taha Syafaril, Ketua Asosiasi Driver Online (ADO), jumlah pengemudi ojek online perempuan sekitar 20% dari 700.000 sampai 1 juta orang pengemudi ojek online di Jabodetabek, atau kisaran 140.000 hingga 200.000.
sumber polusi yang belum jadi perhitungan
Hitungan yang berbeda disampaikan oleh Rusli, Ketua Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Dirgantara dan Transportasi (SPDP) bilang, dari 6.000 pengemudi itu, 1.000 pengemudi adalah perempuan. Jika mereka sakit, mereka harus bayar sendiri. “Ada juga yang ikut asuransi dan layanan kesehatan, tapi bayar sendiri bukan perusahaan,” kata Rusli yang juga pengemudi salah satu aplikasi ojek online itu.
Namun sayang, KONTAN belum berhasil mendapatkan data pembanding yang diperoleh dari pelaku usaha maupun otoritas. Teuku Parvinanda, Vice President Corporate Affairs Gojek mengklaim, Gojek telah melakukan berbagai cara mendukung kebutuhan pengemudi mereka.
“Gojek juga menyediakan layanan ambulans serta unit reaksi cepat, demi menjaga keselamatan mitra dan pelanggan saat menggunakan layanan Gojek,” kata Teuku.
Gojek juga memfasilitasi pengemudi untuk ikut layanan BPJS Ketenagakerjaan, namun tidak membayarkan tagihan premi layanan asuransi atau kesehatan. Premi ini ditanggung sendiri oleh pengemudi.
Tak hanya Agnes dan April, ada banyak pengemudi ojol mengalami penurunan kesehatan. Sayang, tak ada mekanisme general check up rutin bagi pengemudi. Jikapun mereka harus memeriksakan kesehatan, harus mengeluarkan biaya sendiri atau melalui mekanisme BPJS Kesehatan jika mendaftar.
Igun Wicaksono, Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Online Garda Indonesia bilang, dampak kesehatan pada pengemudi online akan terlihat 10-15 tahun setelah menjadi pengemudi. Penyakit yang akan menghantui mereka antara nya kanker paru, pernafasan hingga kulit atau tubuh yang terpapar langsung dengan polusi udara. “Dampak polutan akan berpengaruh ke kesehatan pengemudi ojek online bertahun-tahun setelahnya,” kata Igun.
Pernyataan Igun bukan isapan jempol. Budi Haryanto, Guru Besar Epidemiologi Pencemaran Udara dan Surveilans Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia membenarkan dampak kesehatan akibat polusi itu. Ia bilang, intensitas polusi berdampak pada gangguan fungsi paru-paru, baik itu dalam jangka waktu pendek maupun panjang.
“Pengemudi ojek online yang keseharian di jalan dan terus terpapar dengan kualitas udara di Jakarta yang lebih banyak buruknya ini akan berdampak dalam jangka waktu dekat hingga panjang,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (15/12). Semakin besar dan lamanya paparan polusi yang diterima seseorang, risiko gangguan fungsi parunya akan semakin besar.
Budi pernah melakukan penelitian efek polusi terhadap sopir mikrolet di Jakarta. Hasilnya studi tersebut, 56% pengemudi mikrolet menderita gangguan fungsi paru. Penelitian ini dilakukan di bulan April – Mei 2019 yang melibatkan 130 orang supir yang berasal dari 9 lintasan rute (trayek) di Terminal Kampung Melayu, Jakarta.
Padahal sopir mikrolet yang duduk di belakang setir terlindung dari paparan debu dan polusi oleh kaca mobil. Budi juga pernah meneliti paparan polusi partikulat (PM) ukuran 2,5 mikron di dalam ruangan pada orang yang tinggal di perumahan Desa Rawa Terate dekat Kawasan Industri Pulo Gadung.